Program Barak Militer Antara Pembinaan Karakter dan Polemik Perlindungan Anak

Berita viral hari ini datang dari program Barak Militer yang digaungkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat di bawah kepemimpinan Gubernur Dedi Mulyadi. Program pembinaan bagi siswa yang dinilai bermasalah ini dimulai melalui kerja sama dengan TNI Angkatan Darat. Program ini resmi berjalan sejak 2 Mei 2025 dengan mengarahkan para siswa untuk menjalani proses pembinaan di barak militer selama enam bulan penuh.

Dalam pernyataannya, Gubernur Dedi menjelaskan bahwa program ini menyasar siswa-siswa yang mengalami hambatan dalam pembinaan di sekolah atau terindikasi terlibat dalam perilaku negatif.

“Selama setengah tahun, para siswa akan mendapatkan pelatihan karakter di barak, tanpa mengikuti kegiatan belajar formal seperti biasanya. Proses penjemputan pun akan dilakukan langsung oleh pihak TNI dari kediaman masing-masing,” ujar Dedi saat memberikan keterangan di Bandung pada akhir April 2025.

Program ini melibatkan sekitar 30 sampai 40 barak militer yang telah ditetapkan oleh pihak TNI. Penentuan peserta dilakukan atas dasar kesepakatan antara sekolah dan orang tua siswa. Fokus utamanya adalah memberikan intervensi terhadap anak-anak yang dianggap sulit dibina melalui jalur pendidikan konvensional.

Materi dalam Barak Militer

Brigadir Jenderal Wahyu Yudhayana selaku Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat memberikan keterangan bahwa program tersebut mengusung nama Pendidikan Karakter, Disiplin, dan Bela Negara Kekhususan.

“Program ini dirancang untuk menanamkan nilai-nilai kedisiplinan dan cinta tanah air kepada siswa tingkat SMP dan SMA yang menunjukkan perilaku menyimpang, termasuk yang telah tersangkut masalah hukum,” ungkap Wahyu saat peluncuran resmi program pada 2 Mei 2025.

Wahyu menegaskan bahwa pendekatan dalam program ini bukan dalam bentuk pelatihan militer yang keras, melainkan berbasis edukasi dan pembinaan kepribadian.

“Anak-anak yang mengikuti program ini nantinya akan memperoleh materi yang mirip seperti sekolah formal. Selain itu, bakal ada tambahan kegiatan positif seperti konseling, motivasi, baris-berbaris, wawasan kebangsaan, dan pembelajaran tentang bahayanya narkotika. Kegiatan kelompok dan outbound pun menjadi bagian dari proses pembentukan karakter,” jelasnya.

Untuk mendukung pelaksanaan, tenaga pendidik yang terlibat berasal dari berbagai institusi, termasuk unsur TNI, Polri, dinas pendidikan, tenaga kesehatan, serta Lembaga Perlindungan Anak (LPA). Mereka bertugas memberikan materi sesuai dengan bidang keahlian masing-masing.

KPAI Ungkap Kritik Tajam

Program ini tidak luput dari sorotan tajam, terutama dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Jasra Putra selaku Wakil Ketua KPAI menyampaikan bahwa pelaksanaan program ini menunjukkan sejumlah potensi pelanggaran terhadap hak anak.

“Kami menemukan kasus di mana siswa yang enggan mengikuti program ini justru mendapat tekanan. Bahkan, ada ancaman mereka tidak akan naik kelas jika menolak,” kata Jasra dalam konferensi pers daring pada pertengahan Mei 2025.

Jasra juga mempertanyakan dasar seleksi peserta yang tidak melibatkan proses asesmen psikologis dari profesional. “Keputusan untuk mengirim siswa ke barak hanya berdasarkan rekomendasi dari guru BK. Ironisnya, di beberapa sekolah seperti di Purwakarta, tidak ada guru BK sama sekali sehingga kami tidak tahu siapa yang sebenarnya mengeluarkan rekomendasi itu,” ujarnya.

KPAI juga mencatat adanya ketidaktahuan di kalangan siswa mengenai alasan mereka dimasukkan ke dalam program. “Sekitar 6,7 persen anak yang kami wawancarai mengaku tidak memahami kenapa mereka dipilih. Ini menjadi tanda bahwa proses seleksi tidak berjalan dengan transparan,” terang Jasra.

Lebih dari itu, KPAI menemukan bahwa sebagian besar pelatih dari TNI belum memiliki pemahaman yang cukup tentang prinsip-prinsip perlindungan anak.

“Sayangnya, kurang ada pelatihan untuk para pembina terkait hak anak dan tidak ada standar operasional prosedur yang jelas untuk menjamin aspek kesehatan selama program. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlindungan anak belum menjadi perhatian utama pada program ini,” imbuhnya.

Dengan berbagai catatan tersebut, program yang digagas oleh mantan Bupati Purwakarta ini menuai perdebatan. Di satu sisi, program ini diharapkan mampu membentuk karakter dan disiplin siswa bermasalah. Namun di sisi lain, pendekatan yang dinilai otoriter serta minimnya akomodasi terhadap hak-hak anak membuat banyak pihak menuntut evaluasi serius terhadap pelaksanaannya.

Dapatkan berita terbaru, informasi penting, dan tren masa kini hanya dengan mengakses media terpercaya Indonesia. Semoga bermanfaat.